-->

Ads 720 x 90

Pendampingan Desa, Mendampingi Desa, Memberdayakan Desa


Desa yg maju, bertenaga, berdikari, demokratis dan sejahtera adalah khayalan tentang desa baru yg ditegaskan oleh UU Desa, sebagai arah perubahan desa yg berkelanjutan di masa depan. Perubahan desa memang nir gampang, namun pula tidak terlalu sulit. Kita mampu berguru dengan pengalaman lokal. Dari hari ke hari selalu hadir desa inovatif, desa yg berubah, sesuai menggunakan semangat UU Desa. Buku ini tidak mungkin mengungap satu demi satu desa yang telah melakukan perubahan. Namun yang terpenting,? Perubahan desa itu terjadi lantaran pembelajaran, pengorganisasian juga pendampingan.

Pendampingan desa menjadi modalitas krusial bagi perubahan desa UU Desa No. 6/2014 sudah menaruh amanat pemberdayaan melalui pendampingan desa.

Permendesa PDT dan Transmigrasi No. Tiga/2015 menegaskan bahwa pendampingan desa merupakan kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi desa. Sedangkan tujuan pendampingan desa mencakup: (a) Meningkatkan kapasitas, efektivitas & akuntabilitas pemerintahan desa & pembangunan Desa; (b) ?Meningkatkan prakarsa, kesadaran & partisipasi masyarakat Desa pada pembangunan desa yang partisipatif; (c) Meningkatkan sinergi acara pembangunan Desa antarsektor; & (d) Mengoptimalkan aset lokal desa secara emansipatoris.

Pendampingan desa mencakup pengembangan kapasitas teknokratis dan pendidikan politik.

Kapasitas teknokratis meliputi pengembangan pengetahuan & keterampilan terhadap para pelaku desa pada hal pengelolaan perencanaan, penganggaran, keuangan, administrasi, sistem informasi dan sebagainya. Pendidikan politik berorientasi dalam penguatan active and critical citizen, yakni warga  yang aktif, kritis, peduli, berdaulat dan bermartabat. Hal ini antara lain merupakan kaderisasi yg melahirkan kader-kader lokal agresif sebagai penggerak pembangunan desa dan demokratisasi. Kaderisasi tidak identik dengan pendidikan & pembinaan, tetapi juga membuka ruang-ruang publik politik dan mengakses pada forum musyawarah desa, yang membicarakan & memperjuangkan kepentingan rakyat. Kepemimpinan lokal yang berbasis masyarakat, demokratis dan visioner mampu dilahirkan melalui kaderisasi ini, sekaligus emansipasi para kader pada kehidupan berdesa.

Pendampingan tidak boleh bersifat apolitik, tetapi wajib  berorientasi politik.

Pendampingan apolitik hadir dalam bentuk pengembangan kapasitas teknokratis pada pembangunan desa, termasuk pembentukan keterampilan berusaha, tanpa menyentuh penguatan tradisi berdesa & penguatan kekuasaan, hak dan kepentingan masyarakat. Kapasitas teknokratis sangat krusial tetapi tidak cukup buat memperkuat desa. Lantaran itu pendampingan wajib  bersifat politik. Politik pada konteks ini bukan pada pengertian kudeta, melainkan penguatan pengetahuan & kesadaran akan hak, kepentingan dan kekuasaan mereka, & organisasi mereka merupakan kekuatan representasi politik untuk berkontestasi mengakses arena dan sumberdaya desa. Pendekatan pendampingan yg berorientasi politik ini akan memperkuat kuasa rakyat sekaligus menciptakan sistem desa sebagai lebih demokratis.

Para pendamping bukan hanya memfasilitasi pembelajaran & pengembangan kapasitas, namun jua mengisi ?Ruang-ruang kosong? Baik secara vertikal juga horizontal.

Mengisi ruang kosong identik menggunakan menciptakan ?Jembatan sosial? (social bridging) & jembatan politik (political bridging). Pada ranah desa, ruang kosong vertikal merupakan kekosongan interaksi bergerak maju (disengagement) antara rakyat, pemerintah desa dan lembaga-lembaga desa lainnya.? Pada ranah yang lebih lua, ruang kosong vertikal adalah kekosongan interaksi antara desa dengan pemerintah supra desa. Karena itu pendamping merupakan aktor yg membangun jembatan atau memfasilitasi engagement baik antara rakyat menggunakan lembaga-forum desa maupun pemerintah desa, agar bangunan desa yg kolektif, inklusif dan demokratis. Engagement antara desa menggunakan supradesa jua perlu dibangun buat memperkuat akses desa ke atas, sekaligus memperkuat kemandirian dan kedaulatan desa.

Ruang kosong horizontal umumnya berbentuk densitas sosial yg terlalu jauh antara kelompok-grup masyarakat yg terikat (social bonding) berdasarkan jalinan parokhial (agama, suku, relasi, golongan & sebagainya). Ikatan sosial berbasis parokhial ini biasanya melemahkan kohesivitas sosial (bermasyarakat), mengurangi perhatian masyarakat pada gosip-informasi publik, & melemahkan tradisi berdesa. Karena itu ruang kosong horizontal itu perlu dirajut sang para pendamping agar tradisi berdesa sanggup tumbuh & desa sanggup kuat secara sosial.

Pendampingan desa secara fasilitatif dari luar tidak cukup dilakukan sang aparat negara, tetapi pula perlu melibatkan unsur organisasi warga  sipil (NGOs lokal dan lokal, perguruan tinggi, lembaga-lembaga internasional)? Maupun perusahaan.

Pemerintah melakukan contracting out pada perusahaan buat mengelola fasilitator, atau mengandalkan aparat birokrasi, adalah cara yg keliru. Selama ini mereka miskin metodologi pendampingan, & mereka mungkin sanggup membuatkan kapasitas teknokratis, namun mereka bukan aktor yg sempurna buat melakukan kaderisasi. Dengan berpijak pada prinsip ?Negara yang padat? (congested state), pemerintah harus berjaringan dan bekerjasama dengan unsur-unsur organisasi masyarakat sipil serta melibatkan dukungan perusahaan. NGOs lokal, yg memiliki tradisi & jaringan dengan NGOs nasional dan forum-forum internasional, memiliki tradisi yang kuat pada menerapkan pendekatan politik pada pendampingan.

Pendampingan yang lebih kokoh & berkelanjutan jika dilakukan berdasarkan dalam secara emansipatif sang aktor-aktor lokal.

Pendampingan secara fasilitatif? Dibutuhkan untuk katalisasi & percepatan. Tetapi proses ini wajib  berbatas, tidak boleh berlangsung berkelanjutan bertahun-tahun, sebab akan mengakibatkan ketergantungan yang tidak produktif. Selama proses pendampingan, pendekatan fasilitatif itu harus sanggup menumbuhkan kader-kader lokal yang piawai tentang wacana desa, & mereka lah yg akan melanjutkan pendampingan secara emansipatoris. Mereka memiliki spirit voluntaris, namun menjadi bentuk apreseasi, tidak ada salahnya jikalau pemerintah desa mengalokasikan bonus buat para kader lokal itu.

Pendampingan melakukan intervensi secara utuh buat memperkuat village driven development dan mewujudkan desa menjadi self governing community yg maju, kuat, mandiri dan demokratis.

Beragam aktor desa serta berita-info pemerintahan dan pembangunan desa bukanlah segmentasi yg berdiri sendiri (cerai berai), namun semuanya terikat & terkonsolidasi pada sistem desa. Sistem desa yg dimaksud adalah kewenangan desa, rapikan pemerintahan desa, dan perencanaan dan penganggaran desa yang semuanya mengarah dalam pembangunan desa buat kesejahteraan masyarakat. Baik kepentingan, tema pembangunan, aset lokal, beragam aktor diarahkan dan diikat dalam sistem desa itu. Dengan kalimat lain, desa sebagai basis bermsyarakat, berpolitik, berpemerintahan, berdemokrasi dan berpembangunan. Pola ini akan menunjuk pada pembangunan yang digerakkan oleh desa (village driven development), yang bersifat kolektif, inklusif, partisipatif, transparan dan akuntabel.

Pendampingan desa nir boleh dilaksanakan dan dikendalikan secara sentralistik berdasarkan Jakarta melainkan wajib  terdesentralisasi & terlokalisasi pada ranah kabupaten, kecamatan dan desa.

Selain itu pendampingan pula nir boleh membangun struktur paralel seperti yg selama ini dijalankan sang PNPM Mandiri. Jakarta tidak boleh mengendalikan pendampingan menggunakan Petunjuk Teknis Operasional (PTO), tetapi relatif menaruh pedoman umum, arah kebijakan & modul standar. PTO yang lentur mampu dibuat oleh kabupaten/kota, kecamatan menjadi ruang berkumpul para pendamping yg dikoordinasi oleh camat dan aparatanya. Desa jua memiliki kewenangan buat belanja keahlian dan pendamping.

Pendampingan tidak bersifat seragam & kaku namun wajib  lentur & kontekstual.

Indonesia sudah berpengalaman dalam pendampingan, sebagaimana dilakukan oleh PNPM Mandiri Perdesaan. Namun pendampingan ala PNPM Mandiri cenderung seragam dan kaku yg dikendalikan secara ketat menggunakan Petunjuk Teknis Operasional (PTO). Pendampingan tentu harus lentur dan kontekstual, yakni tergantung pada kondisi dan kebutuhan lokal. Untuk menjaga kelenturan dan kontektualitas itu, PTO yang diciptakan secara desentralistik di kabupaten/kota tidak boleh memberikan instruksi & petunjuk apa yang harus dan boleh dilakukan misalnya gaya birokrasi, melainkan memberi negative list atau memberi larangan apa yg tidak boleh dilakukan. Dengan kalimat lain PTO itu tidak mewajibkan pendamping dengan prinsip ?Tidak boleh melakukan sesuatu kecuali yang diperintah? Melainkan memberikan keleluasaan pendamping buat bertindak sinkron dengan prinsip ?Bebas melakukan apapun kecuali yang dilarang?.

Sumber :? Materi Pembekalan Pendampingan Desa, 2015

Kami jua menjual dan memiliki artikel yg lain:

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter