-->

Ads 720 x 90

Desa Mandir Desa Berdikari



Otonomi dan kapasitas merupakan tolok ukur negara kuat. Negara otonom adalah negara yg bisa mengambil keputusan secara berdikari, sekaligus kebal menurut impak aneka macam kelompok ekonomi politik juga kekuatan global. Kapasitas negara terkait menggunakan kemampuan negara menggunakan alat-alat kekerasan & sistem pemaksa buat membangun law and order (keamanan, keteraturan, ketertiban, ketentraman, & sebagainya), mengelola pelayanan publik & pembangunan buat fungsi welfare (kesejahteraan), dan melakukan proteksi terhadap wilayah, tanah air, manusia, warga  maupun sumberdaya alam.

Negara kuat adalah impian umat insan, kecuali insan yang membela ideologi anti negara. Manusia begitu prihatin apabila melihat negara lemah & negara gagal. Daron Acemoglu & James A. Robinson (2014), pada bukunya Mengapa Negara Gagal, menegaskan bahwa negara gagal vs negara sukses (bertenaga, makmur) sangat tergantung pada institusi politik-ekonomi. Negara yang memiliki institusi politik-ekonomi inklusif, cenderung berpotensi buat sebagai negara sukses. ?Sementara negara menggunakan ?Institusi politik-ekonomi yg bersifat ekstraktif, cenderung tinggal menunggu saat buat terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, & berujung pada negara gagal.

Argumen itu krusial buat memahami betap pentingnya satu tarikan nafas antara negara bertenaga, wilayah bertenaga, desa kuat, warga  bertenaga, rakyat kuat. Cara pandang kapasitas distribusi (power to) secara inklusif, yg tidak sama menggunakan cara pandang akumulasi (baik akumulasi kekuasaan & akumulasi ekonomi) yang eksklusif dan ekstraktif, mengajarkan bahwa negara yang kuat bukanlah terpusat dalam institusi-institusi negara di sentra, tetapi jua disertai sang wilayah bertenaga, rakyat bertenaga, institusi lokal yg bertenaga, desa bertenaga, masyarakat yg bertenaga (active citizen). Formasi inklusif tentu nir tiba berdasarkan atas ke bawah (top down), tetapi menurut bawah dan menurut pinggir seperti pesan Nawacita: menciptakan Indonesia berdasarkan pinggiran, dengan memperkuat daerah dan desa. ?Kalau negara kuat belum tentu desa bertenaga, tetapi jika desa kuat niscaya negara akan kuat?, demikian ujar Prof. Sadu Wasistiono, Guru Besar IPDN yang menaruh perhatian akbar dalam desa.

Apa makna desa kuat & desa berdikari? Sebagai 2 sisi mata uang, antara desa kuat dan desa berdikari, adalah sebuah kesatuan organik. Dalam desa kuat terdapat kemandirian desa, & dalam desa mandiri terdapat kandungan desa bertenaga. Kapasitas tentu merupakan jantung pada desa kuat dan desa mandiri. Namun secara spesifik pada desa bertenaga masih ada 2 makna krusial. Pertama, desa mempunyai legitimasi di mata rakyat desa. Masyarakat mendapat, menghormati dan mematuhi terhadap institusi, kebijakan & regulasi desa. Tentu legitimasi sanggup terjadi kalau desa memiliki kinerja dan berguna secara konkret bagi warga , bukan hanya manfaat secara administratif, tetapi pula manfaat sosial & ekonomi. Kedua, desa memperoleh pengakuan dan penghormatan (rekognisi) & kepercayaan  dari pihak negara (institusi negara apapun), pemerintah wilayah, perusahaan, & forum-forum lain. Apabila mereka meremehkan desa, contohnya menganggap desa nir bisa atau desa tidak siap, maka desa itu masih lemah. Rekognisi itu tidak hanya di atas kertas sebagaimana pesan UU Desa, namun juga diikuti menggunakan perilaku dan tindakan konkret yg tidak meremehkan namun memercayai.
Menengok Kembali Desa Swasembada

Ketika pembangunan desa telah menjadi ikon Orde Baru pada dasa warsa 1970-an, pasca UU No. 5/1979 pemerintah membuat kreasi tipologi desa yang mencerminkan pembangunan, perkembangan & kemajuan desa. Dipengaruhi oleh teori modernisasi, pemerintah membuat tipologi perkembangan desa sebagai tiga: desa swadaya (desa tradisional), desa swakarya (desa transisional) & desa swasembada (desa yang maju dan modern).? Tipologi itu sekaligus juga menjadi peta jalan perkembangan desa, dimana desa swasembada merupakan tujuan akhir pembangunan desa di Indonesia.? Perbedaan ketiga tipe desa itu kami sajikan pada tabel 3.1.

Tipologi dan visi pembangunan desa itu lahir dalam jamannya, yaitu zaman Orde Baru yg mendewakan modernisasi, seraya menghindari demokrasi & swatantra. Kalau dibaca secara ekstrem tipologi desa itu sungguh inkonstitusional, lantaran nir mengandung pengakuan dan penghormatan terhadap istiadat yang menjadi roh dan jati diri desa. Adat dianggap kuno & menjadi penghambat pembangunan, sebagai akibatnya harus dimodernisasi agar tata cara semakin longgar & tidak mengikat sebagaimana terjadi dalam desa swasembada.

Dihadapkan dalam konteks kekinian, pandangan yang melemahkan norma itu nir relevan. Di tengah globalisasi,? Orang juga rindu & mencari kearifan lokal yg dihadirkan oleh tata cara.? Adat tidak lagi dipahami sebagai kebiasaan lama   yg bodoh,? Tetapi dipahami menjadi nilai-nilai & kearifan lokal dan prakarsa baru entitas lokal yang adaptif terhadap perubahan, yg pada dalamnya mengandung roh dan jati diri sebagai benteng atas gempuran globalisasi.

Tipologi desa era Orde Baru

Kriteria PenilaianDesa SwadayaDesa SwakaryaDesa SwasembadaPengaruh LuarBelum adaMulai masukJadi pembaharuanAdat IstiadatKuat & mengikatMulai longgarLonggar, tidak mengikatTeknologi BaruBelum adaMulai dikenalDimanfaatkanPenduduk tamat SD< 300% - 60%>60%Pendapatan per kapita per tahundanlt;Rp 12.000,00Rp 12.000,00 ? Rp17.000,00dangt; Rp 17.000,00ProduktivitasRendahSedangTinggiAdministrasi & lembaga desaAda, tetapi belumberkembangMulai berkembangBerfungsi baikInfrastruktur & komunikasiTerbatasDapat berjalanBerjalan lancar
Sumber: Marzali, 1997.

Semangat dan perspektif yang menghormati istiadat & kearifan lokal itu sangat kuat terkandung dalam UU Desa. Anggota Pansus Desa, I Wayan Koster, maupun Yando Zakaria sebagai energi pakar, sangat gemar menyampaikan dan memperjuangkan tata cara, terutama pengakuan desa norma. Dengan berpijak pada asas keberagaman (kebinekaan), UU Desa secara tegas membagi dua jenis desa, yakni desa dan desa istiadat. Dengan permanen mengakui & menghormati istiadat, Wayan Koster mempunyai imajinasi misalnya bangsa Jepang yg sangat terbaru namun nir meninggalkan tradisi, & tetap merawat tradisi namun nir ketinggalan jaman.

Tanpa wajib  dikritik menggunakan perspektif istiadat & kearifan lokal, tipologi desa & visi desa swasembada sebenarnya telah runtuh. Pada tahun 1993, ketika Inpres Desa Tertinggal diluncurkan sang pemerintah sebagai acara penanggulangan kemiskinan, tipologi desa & imajinasi desa swasembada sudah runtuh. Program IDT mempunyai metodologi tersendiri untuk tetapkan predikat desa tertinggal (desa miskin), meskipun program ini pula nir menciptakan tipologi dan visi baru buat menggantikan visi desa swasembada.? Kesenjangan antara tipologi desa dengan IDT mulai tampak waktu ternyata poly desa swasembada yang mempunyai predikat desa tertinggal sesudah dievaluasi dengan metodologi IDT. Sejak saat itu tipologi desa dan visi desa swasembada nir lagi dipakai oleh pemerintah, dan pada ketika yang sama pembangunan desa (yg dipimpin dan berpusat pada pemerintah) digantikan dengan penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan warga  (yg meminggirkan pemerintah, sekaligus pemberdayaan yg digerakkan dan berpusat dalam warga ). Sekarang pada ketika pemerintah meninggalkan tipologi desa, sebuah forum negara yang sangat konservatif, yakni Badan Pusat Statistik, sampai kini   masih tetap menggunakan tipologi usang & mengeluarkan data tentang jumlah desa swadaya, swakarya & swasembada.

Desa Mandiri

Kemandirian desa secara konseptual identik dengan otonomi desa. Namun UU Desa hanya mengenal desa mandiri atau kemandirian desa. Konsep swatantra desa sengaja dihilangkan oleh UU Desa. Mengapa? Konsep otonomi desa sebenarnya telah usang dikenal pada perbincangan akademik, politik dan bahkan pula dikenal dalam regulasi-regulasi sebelumnya. Berdasarkan tasfir atas konstitusi & pengalaman sejarah yang panjang, poly ilmuwan sosial di masa lalu telah memperkenalkan konsep ?Swatantra asli? Yang inheren pada desa atau sebutan-sebutan lain seperti nagari, gampong, marga, lembang, kampung, negeri & lain-lain. Mereka berkata bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bundar , dan utuh serta bukan merupakan pemberian  dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati swatantra asli yang dimiliki oleh desa. Sebagai kesatuan rakyat hukum yang mempunyai susunan asli dari hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik aturan publik maupun hukum perdata, mempunyai kekayaan, mal dan dapat dituntut dan menuntut pada muka pengadilan (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1962; T. Ndraha, 1991; HAW Widjaja, 2003). Susunan asli & hak berasal-berasal atau seringkali dianggap hak bawaan atau hak purba adalah jantung konsep otonomi asli desa.
Konsep swatantra desa sebenarnya ada dalam UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004. Dalam penerangan UU No. 32/20014 ditegaskan sebagai berikut:

Undang-Undang ini mengakui otonomi yg dimiliki sang desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa bisa diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah buat melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yg bersifat administratif misalnya desa yang dibentuk lantaran pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun lantaran alasan lain yg warganya pluralistis, majemuk, ataupun tidak sejenis, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan buat tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan menurut desa itu sendiri.

Konsep swatantra asli juga dikenal menjadi salah  satu asas pengaturan desa dalam PP No. 72/2005, turunan berdasarkan UU No. 32/2004, meskipun secara sempit hanya terbatas pada swatantra pemerintahan desa.? Artinya wewenang pemerintahan desa dalam mengatur & mengurus rakyat setempat didasarkan  pada hak berasal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang masih ada dalam rakyat setempat namun harus diselenggarakan pada perspektif adiminstrasi pemerintahan negara yang selalu mengikuti perkembangan jaman.

Tetapi otonomi asli yang terpusat dalam susunan asli dan hak asal-usul itu pada sepanjang sejarah mengalami distorsi yang serius. Pertama, negara melakukan intervensi menggunakan membarui atau bahkan merampas hak berasal-usul. Penyeragaman desa merupakan model terkemuka, yang diikuti menggunakan perampasan tanah-tanah istiadat. Di Jawa jua terdapat contoh kecil. Tanah bengkok, contohnya, yg adalah hak asal-usul desa dan sebagai hak istimewa bagi ketua desa dan pamong desa, sudah diubah menjadi tanah kas desa dalam tahun 1982. Kedua, otonomi orisinil dipraktikkan secara sempit dengan tindakan mengisolasi desa, yg menyuruh & membiarkan desa mengelola dirinya sendiri dengan swadaya dan gotong royong.

Di sepanjang sejarah intervensi itu yg melemahkan desa, & isolasi yg membuat desa menjadi tertinggal & tidak bisa. Lantaran itu pada era reformasi wacana dan gerakan swatantra desa menguat, baik melalui eksperimentasi secara lokal juga advokasi kebijakan terhadap RUU Desa. Naskah Akademik RUU Desa sangat kuat mempromosikan swatantra desa, meskipun di dalamnya tidak mengenal ?Desa otonom?. Ketika pembahasan RUU Desa, pemerintah, DPD dan DPR putusan bulat buat menghilangkan konsep otonomi desa, karena otonomi sangat politik yang ?Identik menggunakan desentralisasi atau daerah otonom tingkat III.

Konsep kemandirian desa atau desa berdikari yang diamanatkan UU Desa, tentu bukan hal baru. Konsep yang nonpolitis ini telah dikenal semenjak 1993, yang lalu menjadi ikon dan gerakan mikro-lokal pada aneka macam loka. Banyak institusi (pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, perusahaan, forum donor, LSM, perguruan tinggi) yang ramai memperbincangkan & menggerakkan desa berdikari. Namun sejauh ini nir ada makna tunggal mengenai desa berdikari, meskipun Bappenas beserta BPS telah mengukur desa mandiri menggunakan banyak sekali indikator fisik & sektoral misalnya syarat fasilitas publik desa.
Kami selalu mengingatkan bahwa kemandirian harus dibedakan dengan kesendirian & kedirian. Kemandirian desa bukanlah kesendirian, bukan jua kedirian (autarchy). Kedirian berarti ego yang kuat sebagai respons atas hegemoni pemerintah & pihak lain yg menghormati desa. ?Desa mengklaim bahwa apa yg terdapat pada wilayahnya adalah miliknya secara penuh, desa nir mau diatur sang negara atau nir mau herbi pihak lain, dan menduga masyarakat pendatang dianggap menjadi ?Orang lain? Yang tidak sama dengan ?Orang orisinil?. Sedangkan kesendirian ialah desa mengurus juga membangun dirinya sendiri menggunakan sumberdaya yang dimilikinya tanpa dukungan negara. Dalam hal ini negara tidak hadir mendukung desa, atau negara melakukan isolasi terhadap desa.

Kemandirian desa tentu nir berdiri sendiri.Tetapi sangat penting buat melihat relasi antara desa dengan? Negara, termasuk memperhatikan pendekatan pemerintah terhadap desa. Memang terdapat problem serius kehadiran (intervensi) negara terhadap desa. Kalau negara nir hadir keliru, tetapi jikalau hadir galat. Konsep kesendirian desa menampakan bahwa? Negara nir hadir;? Pada hal ini negara melakukan isolasi terhadap desa, sebagai akibatnya masuk akal jika ada ribuan desa berpredikat sebagai desa tertinggal. Pada kutub yg lain, kehadiran negara yang berlebihan dalam ranah desa -- yang bisa diklaim menjadi pemaksaan (imposition) ? Justru akan melumpuhkan prakarsa lokal dan kemandirian desa. Arturo Israel (1987), contohnya, mengingatkan bahwa intervensi yang terlalu bertenaga pada dasarnya berkorelasi negatif menggunakan kinerja sebuah lembaga atau komunitas. Artinya, sema?Kin kuat intervensi maka semakin rendah kinerja lembaga tersebut. Demikian pula, hegemoni pemerintah yg terlalu bertenaga pada desa, malah tidak akan membangun kemajuan dan kemandirian desa. Karena itu, Israel mengungkapkan bahwa buat menaikkan kapasitas dan kemandirian forum sangat dibutuhkan dukungan politik sepenuhnya sang pengendali kekuasaan baik pada pada maupun pada luar. Bentuk dukungan politik, meminjam Soedjatmoko (1987), mampu dengan pengembangan swaorganisasi (self?Organization) & swakelola (self?Management).

Karena itu kemandirian lebih baik dimaknai dalam pengertian emansipasi desa. Emansipasi pada dasarnya berbicara mengenai persamaan hak dan pembebasan menurut dominasi. Dengan kalimat lain, emansipasi desa berarti desa tidak menjadi obyek imposisi, dominasi dan penerima manfaat proyek, melainkan desa berdiri tegak sebagai subyek pemberi manfaat. Desa berguna melayani kepentingan masyarakat setempat dan beranjak menciptakan ekonomi termasuk pada kategori emansipasi itu.

Sumber :? Materi Pembekalan Pendampingan Desa, 2015

Kami jua menjual & mempunyai artikel yg lain:

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter